JAKARTA (WartaTransparansi.com) – Kasus dugaan penganiayaan anggota kepolisian dan perampasan 2 butir peluru yang diduga dilakukan Pengacara Razman Nasution semakin mencuat. Hal ini setelah Razman nama akrabnya mengakui penguasaan 2 peluru anggota polisi tersebut.
Peristiwa dan kejadian ini mendapat tanggapan serius dari Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, S.H., M.Hum, Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jumat sore (06/05/2022) kepada media di Jakarta.
Ia menjelaskan, alternatif sanksi pidana yang dapat menjerat Razman pada kasus ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Darurat Tahun 1951.
Disebutkan bahwa, “Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”
Prof. Mompang sapaan akrabnya, menguraikan ada suatu kekhasan yang terkandung pada UU No. 12 Drt. 1951, tentang Mengubah ‘Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen’ (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Dimana dikenal undang-undang dengan nama Undang-Undang Senjata Api atau Undang-Undang Darurat tentang Senjata Api.
“Sejatinya bahwa peraturan ini, yakni merupakan peraturan hukum istimewa sementara, tidak mendukung kehadirannya yang bersifat relatif langgeng,” tandas Prof. Mompang.
“Ditinjau dari segi ilmu perundang-undangan, sejatinya UU No. 12 Drt. 1951 patut dipertanyakan hakikat dan eksistensinya, karena konstitusi yang kini berlaku adalah UUD Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945 yang sudah diamandemen). Namun sejauh belum pernah dicabut secara formal, maka undang-undang tersebut masih tetap berlaku,” tambah Prof. Mompang menjelaskan.
Lanjutnya, Ia juga menjelaskan unsur unsur tindak pidana dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Drt. 1951.
“Syarat-syarat untuk adanya suatu tindak pidana dapat dilihat dari dua pandangan, yakni monistis yang melihat keseluruhan unsur sebagai satu kesatuan, dan dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana,” ujar Prof. Mompang.