JAKARTA (Wartatransparansi.com) – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan penetapan status Justice Collaborator (JC) dalam dugaan korupsi yang dilakukan PT. ASABRI, maupun perkara tindak pidana korupsi lainnya sebaiknya merujuk pada aturan yang tepat.
Wakil Ketua Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, selain untuk kepentingan pengungkapan perkara, penegak hukum juga harus mempertimbangkan hal saksi pelapor, sekaligus meminimalisir membuka celah hukum di kemudian hari.
Pernyataan Edwin tersebut menanggapi reaksi pihak Kejaksaan Agung yang mendapat permohonan JC dari tersangka dugaan korupsi kasus ASABRI, Hari Setiono dan Bachtiar Efendi. Edwin menambahkan, terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan, mekanisme JC sebaiknya didudukan sesuai dengan ketentuan tata perundang-undangan yang berlaku.
“Tujuan pemberian perlindungan adalah memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Harapannya, pengungkapan terhadap suatu tindak pidana bisa menyeluruh. Tidak hanya terbatas kepada pelaku-pelaku kelas bawah, tetapi juga bisa menjerat pelaku utamanya” ujar Edwin.
Edwin menambahkan berdasarkan rumusan UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK. Khususnya dalam kaitannya dengan memberikan perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collabolator).
Pertama, Negara telah memberikan jaminan hak terhadap saksi, korban, pelapor, ahli, maupun saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum). Mereka berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, serta bebas dari ancaman yang bekenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, sampai hak untuk menadapatkan nasihat hukum dan pendampingan.
“Bahkan khusus untuk saksi pelaku, Undang-undang juga memberikan sejumlah hak lainnya, seperti keringanan penjatuhan pidana; pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan sejumlah hak lainnya sebagai bentuk penghargaan atas kesaksian yang diberikan” kata Edwin.
Selanjutnya menurut Edwin, pemberian perlindungan dan pengajuan JC diberikan melalui LPSK. Saat ini, satu-satunya Undang-undang yang mengatur terkait saksi pelaku adalah UU 31/2014. Berdasarkan pasal 10A ayat 4, untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutan kepada hakim.
“Untuk syarat perlindungan terhadap Saksi Pelaku atau JC ada dalam pasal 28 ayat (2), diantaranya adalah yang mengajukan bukan pelaku utama, bersedia mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana tersebut serta sifat pentingnya keterangan untuk mengungkap kasus tersebut” kata Edwin.
Menurut hemat Edwin, hadirnya UU No 31 Tahun 2014 menjadi peneguhan subyek baru yakni saksi pelaku dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua institusi yang terlibat dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, menjadi terikat dan wajib melaksanakan norma-norma yang diatur dalam UU tersebut. Dengan demikian, muatan pengaturan mengenai saksi pelaku yang ada pada aturan lain seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No 4 Tahun 2011 tidak relevan untuk diterapkan.
“Norma Sema itu untuk menjadi rujukan hakim, pada sisi lain keberadaan Sema juga dilatarbelakangi kekosongan hukum soal JC, namun saat ini selayaknya UU 31/2014 yang menjadi rujukan” ujar Edwin
Terakhir, Edwin berharap koordinasi penegak hukum dan LPSK terus dilakukan. Menurutnya, baik LPSK maupun aparat penegak hukum memiliki kepentingan yang sama, yaitu mendorong pengungkapan kasus secara menyeluruh.
“Maka dari itu komunikasi dan kolaborasi merupakan sesuatu yang diperlukan, baik dalam kaitannya hal-hal yang bersifat kebijakan dan pertimbangan dalam penetuan JC, maupun persoalan teknis terkait pelaksanaannya’ pungkas Edwin. (guh)