NAMA Abu Janda (Permadi Arya) dalam minggu ini terus mencuat menghiasi semua media cetak, elektronik maupun mediacyber. Itu karena cuitanya di media sosial yang diduga bernada rasisme.
Karena cuitannya yang menghebohkan itu Abu Janda harus berurusan dengan hukum menyusul laporan yang masuk ke polisi bernomor: LP/B/0056/I/2021 tertanggal 29 Januari 2021.
Abdu Janda dilaporkan atas tindak pidana kebencian atau permusuhan individu dan atau antar golongan (sara) UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2006 tentang informasi dan transaksi elektronik pasal 28 ayat (2) penistaan agama UU No 1 tahun 1946 tentang KUHP pasal 156A.
Lalu apa komentar Gus Hans (KH. Zahrul Azhar As’ad), pengasuh pondok pesantren Queen Al Azhar Darul Ulum Rejoso Peterongan, Jombang, Jawa Timur, seorang kyai muda yang akrap dengan kaum mellenial dan pernah mengenal Abu Janda. Berikut ini penuturan Gus Hans kepada Wartatransparansi.com seputar sosok Abu Janda,
“Kali pertama Saya bertemu dengan pria nyentrik ini diruang Ketua Umum PBNU Yai Said (Prof. KH. Said Agil Siroj) di Jakarta. Ketika itu Saya lagi asyik ngobrol santai dengan beberapa rekan. Tiba tiba asisten ketum membawa Abu Janda masuk dan hanya sekilas ingin foto dengan ketum. Begitu masuk langsung foto cekrik cekrirk lalu dia keluar rungan.
Tidak ada perbincangan, apalagi sendu gurau. Bahkan pertemuan beliau berdua terkesan belum pernah bertemu atau berkomunikasi secara intens, tapi begitu foto itu beredar para pakar netizen memaknai dari berbagai sudut dengan segala analisa melik melik nya.
Batin saya berkata bahwa wajar saja pertemua Yai Said Agil Siroj – Abu Janda begitu cepat karena pada saat itu memang lagi rame rame nya issue pilgub DKI dan juga issue issue sektarian khas Jelang “Pil Pil” an suksesi di Indonesia .
Saya pun sempat meluruskan dan diminta beberapa pihak dan media menjelaskan sebatas apa yang saya tau dalam pertemuan tersebut. Dan lagi lagi penjelasan Saya sama tetapi dimaknai berbeda beda berdasarkan orientasi aspirasi politik masing masing, hemmmm.
Setahu saya sosok Abu Janda adalah pria warga Indonesia biasa yang memiliki cita cita yang sama dengan mayoritas warga Indonesia yang lain yaitu : Indonesia yang damai dan anti diskriminasi dll, dia bisa jadi seperti anak yang haus mencari oase ditengah gurun yang cadas dan keras yang tidak sesuai dengan apa yang dalam pikiran dan cita citanya.
Ditengah kehausan itu bisa jadi dia melihat NU sebagai oase yang dia harapkan dapat memberikan rasa segar diantara dahaga yang ia rasakan. Ia berhasil membuat trademark tersendiri dengan gaya dan pilihan diksi yang berusaha mengimbangi serbuan serbuan dari pihak yang berseberangan dengan pikiran nya.
Dia memilih jalur low context yang cenderung satir dan sarkas dalam menyampaikan pesannya, bisa jadi sebagai sindirian dari apa yang dilakukan pihak lawan yang menggunakan teori post turthera.
Setahu saya pihak yang “dibela” Abu Janda saat itu sangat menikmati tarian tarian sporadis yang dilakukan Abu Janda dan seakan minimal membiarkan atau bahkan memberikan perlindungan dari apa saja yang dilakukan.
Kini peta politik sudah mulai berubah, polarisasi sudah tak lagi bergaris jelas , sudah tidak lagi hitam dan putih karena yang hitam pun mulai memutih dan yang putih pun mulai menghitam , sekarang hanya tersisa orang orang yang belum terlatih saja yang selama Ini hanya menjadi pion pion politik ibarat pemabuk amatir yang minumnya hari Senin tapi mabuknya sampai hari Sabtu.
Sayangnya gerakan Abu janda yang tetap memilih Jalur hardcore seakan tak melihat bahwa situasi politik sekang sudah mulai melow dan cepat berubah ubah ubah kadang rancak kadang sedih seperti tiktok.
Saya hanya prihatin saja dengan perilaku elite yang selama ini menikmati “pertarungan” ala Abu janda sekarang tiba tiba bersikap tidak kenal dengan segala jerih payahnya. Bisa jadi sikap pria seperti ini yang membuat jumlah janda melonjak tajam , bahkan di Cirebon ada 7238 ibu ibu muda memilih menjadi janda. (min)