Pemerintah Gegabah Menggunakan Istilah Zona Hijau

Pemerintah Gegabah Menggunakan Istilah Zona Hijau
Anwar Hudiono

SURABAYA (WartaTransparansi.com) –Pemerintah dipandang telah gegabah menggunakan istilah zona hijau untuk menunjukkan daerah yang sudah tidak ada lagi yang positif Covid-19. Di samping tidak memiliki payung hukum yang kuat, istilah zona hijau akan tumpang tindih dengan new normal. Pada akhirnya masyarakat yang semakin dibuat bingung.

Demikian disampaikan pengamat sosial yang juga wartawan senior Anwar Hudijono dalam obrolan virtual TVRI Jawa Timur, Senin [6/7/20). Pembicara lain pada obrolan bertajuk Menuju Zona Hijau ini, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, Anggota Gugus Tugas Rumpun Kuratif Covid-19 Jatim dr Makhyan Jibril Al-Farabi. Acara dipandu host papan atas Herma Prabayanti.

Menurut Anwar Hudijono, istilah zona hijau ini tidak memiliki payung hukum yang kuat karena tidak ada dalam perundang-undangan. Minimal UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana maupun UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Istilah zona hijau ini bermula dari Color Zone Pandemic Response Version 2 yang dipublikasikan Chen Shen dan Yaneer Bar-Yarm. Kemudian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mungkin telah mengadobsinya untuk menunjukkan daerah yang dikofirmasi belum ada yang terinfeksi. “Sekarang, zona hijau untuk daerah yang sudah tidak ada lagi yang dikonfirmasi terinfeksi. Berarti ada inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan zona,” katanya.

Ketika Herma Prabayanti menanyakan apakah perbedaan belum terinfeksi dan sudah tidak ada lagi terinfeksi memiliki impikasi berbeda dalam penanganan, Anwar mengatakan, jelas ada. Jika belum terifeksi berarti kebijakannya bernilai siaga darurat atau pencegahan. Jika sudah tidak ada lagi, kebijakannya adalah berkonteks darurat pemulihan.

Menurut mantan Pemimpin Redaksi Harian Surya ini, munculnya istilah zona hijau ini hanya menambah kebingungan masyarakat. Sebelumnya masyarakat dibingungkan dan disesatkan oleh istilah new normal. Karena komunikasi publik yang buruk dari pemerintah, masyarakat menganggap new normal itu berarti kembali kepada kehidupan pra Covid-19. “Walhasil masyarakat itu ibarat orang puasa dilegalkan untuk mokel. Mereka mokel beneran dan eforia,” katanya.

“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Ini akibat kesalahan pemerintah yang dalam menyampaikan istilah new normal berbeda-beda. Momentumnya juga tidak tepat. Betapa tidak, di saat kurva positif Covid-19 lagi naik, sudah dibuka pintu new normal atau minimal transisi new normal. Ini jelas langkah yang gegabah dan terburu-buru. Ibarat keburu ndodok padahal pintu toilet belum dibuka,” katanya.