“Perempuan bisa berkiprah di sektor publik. Tidak hanya berkutat mengurusi persoalan masak, macak dan manak (memasak, merias dan beranak).
Perempuan pun bisa menjadi pemimpin apapun. Asalkan perempuan tersebut merasa sanggup untuk menjalankan tugas tersebut,” ungkap perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahmah Wahid itu.
Akan tetapi, imbuh Yeni, kiprah perempuan di sektor publik kerap kali mendapatkan tantangan eksternal. Seperti halnya lingkungan sekitar yang tak mendukung ataupun pandangan bias gender yang menggunakan berbagai dalih, termasuk dalih agama.
“Di Islam sendiri, justru Nabi Muhammad memberikan ruang yang cukup luas bagi perempuan untuk berkiprah di sektor publik. Ada banyak sahabat perempuan yang diperbolehkan ikut berperang. Ini adalah contoh bagaimana perempuan juga bisa berkiprah di sektor publik,” terangnya.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh pembicara lainnya, Dwi Ruby Kholifah dari Asian Muslim Action Network [AMAN] Indonesia. Perempuan kelahiran Banyuwangi tersebut mengungkapkan di tengah pandemi Covid-19 ini, perempuan memiliki peran penting dalam kerja-kerja penanggulangan dampak wabah.
“Di banyak tempat, perempuan menjadi penggerak dalam menghadapi wabah ini. Seperti halnya saat terjadi kelangkaan masker, banyak kaum perempuan yang bergerak dengan menjahit masker kain sendiri, lantas dibagikan ataupun dijual guna menyokong perekonomian keluarga,” papar peraih 100 Perempuan Dunia Berprestasi versi BBC tersebut.
Kiprah yang demikian tersebut, lanjut Ruby, tidak terlepas dari faktor pendidikan yang didapatkan perempuan.
“Maka, tidak salah jika Kartini ini memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi kaum perempuan. Karena kita semua tahu, jika perempuan terdidik dengan baik, maka keluarga akan terbangun dengan baik pula. Jika keluarga terbangun baik, masyarakat akan menjadi baik pula,” pungkasnya. (jam)





