Catatan Makin Rahmat untuk Sahabat M Rum
Sebetulnya saya tidak terlalu dekat mengenal sahabat satu ini hingga akhirnya menjadi cermin kehidupan, khususnya bagi saya pribadi. Itulah misteri kehidupan. Namanya cukup singkat: *Muhammad Rum*, anak pengusaha dan pendiri perusahaan rokok Cap “Engsel” di Sidoarjo.
Mengapa kaji Rum, biasa saya panggil menjadi cermin hidup yang lulus ujian? Ya, masih terlalu cepat, di usia 46 tahun harus menghadap ke Rahmatullah (meninggal dunia), harus berpisah dengan istrinya *Maya Zuli Widiastuti* biasa saya panggil dik Widi, karena sudah akrab dengan istri saya, dan dua anaknya. Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Memang sudah suratan takdir, pria berwajah Arab kelahiran 24 Maret 1973 tinggal menunggu transit di alam kubur, setelah mengalami penyakit cukup berat, yaitu stroke, jantung, sesak nafas, & ginjal. Ikhtiar sudah ke mana-mana, harus keluar masuk rumah sakit serta dalam perawatan istrinya karena keterbatasan dana.
Kaji Rum akhirnya meninggal dunia, pada hari Jumat (7/6/2019) pukul 11.45 di rumah duka kawasan Perumahan Pondok Mutiara Sidoarjo (sesuai pernohonan almarhum bisa meninggal hari Jumat).
Semua kehidupan di dunia menjadi sepenggal kisah anak cucu Adam. Di tengah ujian dan goncangan hidup yang begitu luar biasa, kaji Rum berusaha tidak merepotkan saudara serta kerabatnya. Kebetulan, saya termasuk salah satu sahabat tempat berbagi kisah dan rekan diskusi.
Perkenalan saat haji akhir tahun 2004 dan berangkat tepat tahun baru 2005, masih teringat dan terekam betul dalam benak dan pikiran saya, siapa sosok kaji Rum, figur pengusaha muda sukses dengan bergelimang fasilitas dan bekal dolar, masuk kategori di atas kemampuan orang berangkat haji reguler, jalur BPIH (biaya perjalanan ibadah haji).
Kaji Rum mengaku lebih nikmat melalui jalur haji biasa (reguler). Saya senpat guyoni (bergurau), Lebih pantas disebut haji reguler layanan Haji Plus. Saat itu, kaji Rum kebetulan sama dengan saya berangkat haji bersama istri dan satu rombongan sehingga ada ikatan kuat, melebihi saudara.
Saya sebagai Ketua Regu (Karu) atau Ketua Rombongan tergabung dalam KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) Asy-Syumais Ponpes Al Hidayah, Ketegan, Tanggulangin, Sidoarjo, sehingga lebih guyub, rukun dan akrab.
Kesan mendalam yang menjadi cermin saya, saat itu (awal 2005) sebagai pasutri muda, kaji Rum berusia 32 tahun dan dik Widi 24 tahun tetap santun, rendah diri dan tidak memamerkan kekayaan yang melimpah.
Sebaliknya, dirinya terbentuk sebagai anak tertua untuk menjadi gawang bagi keluarga dan terus melanggengkan bisnis keluarga.
Pendek kata, kaji Rum lah, pengatur sentral bisnis perusahaan rokok yang sempat digoncang cukai palsu dan himpitan persaingan.
Hebatnya, kaji Rum tetap bertahan dan mendahulukan kepentingan saudara, khususnya harus istiqomah menyediakan obat permanen yang hanya bisa dibeli di Saudi atau Singapura dan Lebanon untuk ayahnya H. Madyani yang terserang penyakit mirip Parkinson.
Usai ibadah haji, persahabatan tetap terjalin. Rentang waktu senggang, kaji Rum mengajak kerabat termasuk saya dan keluarga refreshing. Bisa ke Pacet, Tretes atau Batu. Hal yang masih tergiang di ingatan saya, kaji Rum selalu memikirkan orangtua dan saudaranya. Bagaimana adik-adiknya bisa hidup mapan, mandiri dan menyenangkan keluarga.
Pernah suatu ketika, kaji Rum bernostalgia saat haji bersamaan dengan musibah bencana Tsunami di Aceh (akhir Desember 2004). Rakyat serambi Mekah yang berangkat haji ikut merana. Bahkan tenda di Mina, Mekah diterjang badai hingga porak poranda. Ya, serial kehidupan yang juga bisa menerpa hamba Allah.
Ujian mirip Tsunami itulah yang dialami kaji Rum. Berawal dari tragedi Lumpur Lapindo yang menenggelamkan 3 kecamatan dan puluhan desa, perusahaan dan rumah keluarga H. Madyani dan Haji Rum ikut dalam kubangan lumpur.
Proses panjang pemberian ganti rugi membuat perusahaan rokok keluarga cap Engsel yang menjadi penopang ratusan pekerja mulai gulung tikar. Perencanaan pengembangan usaha mandek total.
Berbagai ujian terus menghamtam. Tapi, kaji Rum tetap kokoh. Sepengetahuan saya Keluarga kaji Rum membeli rumah di Pondok Mutiara. Ketika kaji Rum sakit, dik Widi bertambah tugas, sebagai ibu atas kedua anaknya dan ikut pontang panting mencari nafkah serta biaya pengobatan sang suami tercinta.
Yang jelas, ketika usaha rokok terpuruk, kaji Rum ingin banting stir bisnis lain, namun mengalami jalan buntu. *Kebiasaan abahnya H. Madyani yang loman (biasa membantu sesama) menurun ke kaji Rum*, sehingga ketika krisis ekonomi melanda keluarganya masih banyak rekan bisnis memberikan sumbangsih dan berbagi membantu kesulitan ekonomi.
“Itulah hidup, kadang di atas kadang di bawah. Bagaimana kita bisa bertahan dan mempertahankan,” kata kaji Rum, semasa hidup.
Tapi siapa sangka? Dalam keterpurukan finansial, ikhtiar menjual tanah gagal, rumah ditawarkan belum laku. Namun, penyakit terus menggerogoti kaji Rum. Dik Widi, sang istri ikut pontang panting. Mulai medis, terapi tradisional, hingga usaha untuk memperoleh pengobatan kesembuhan dilakukan.
Hebatnya, hampir seluruh keluarganya belum mengetahui penderitaan kaji Rum. Saat saya bezuk ke rumah atau ke rumah sakit, kaji Rum masih berusaha tegar. Tidak ingin tamunya bersedih atau ikut susah.
Sepintas, saya tahu dik Widi sering berbisik ke istri saya. Tanpa terasa, saya sering meneteskan air mata melihat penderitaan begitu hebat. Termasuk masalah biaya pengobatan. “Ya Allah, kuatkan ujian yang dihadapi saudaraku. Engkaulah tempat kami bersandar.”
Sinyal bahasa batin saya sepertinya nyambung. Kaji Rum yang biasanya cedal bicara menjelang kematiaannya, begitu jelas dalam bertutur, “Bah, jenengan sepuroh kulo. Mbak Ina (sebutan istri saya) niku mbak Kulo nggih,” paparnya. Saya pun menjawab, “Pun mikir abot-abot (Gak usah memikirkan yang berat-berat), sing penting banyak istighfar, sholawat.”
Walaupun tangannya gemetar, berusaha memegang erat tangan saya, serasa tidak mau dilepas. Malam sebelum kematian kaji Rum, saya bersama istri dan anak saya memang membezuk ke rumahnya. Tetap saya doakan.
Sempat berguman ngalor-ngidul. “Yank (panggilan saya ke istri), kaji wes lancar ngomonge (kaji sudah lancar bicaranya). Mugih ditoto Gusti Allah, kalau lihat pandangan InshaAllah nunggu hari. Mugih sae,” ucap saya.
Malah istri saya ngomong, sejak masuk RSI Siti Hajar Sidoarjo, pihak dokter sudah ngomong nggak tanggung. Sekali lagi, semua garis Ilahi. Keinginan untui wafat hari Jumat, akhirnya dikabulkan Allah SWT.
Kesaksian dik Widi, saat najak (menjelang ajal) kaji Rum malah terlihat tenang, tidak ada raut wajah gusar atau ketakutan. Malah, sebelum wafat sempat memanggil istri dan anaknya bagaimana membimbing orang yang mau meninggal. Subhanallah.
Lebih takjub dengan seizin Allah, proses menghormati jenazah begitu cepat dan lancar. Warga perumahan Pondok Mutiara dibantu modin kampung begitu guyub dan cekatan mempersiapkan memandikan mayit dan mengkafani.
Begitu singkat, belum sampai dua jam, jenazah sudah siap dishalatkan di rumah duka diikuti puluhan pentakziah. Saya dengan istri membawakan kain ihram sesuai pesan dengan penyertakan pakaian ihram yang dipakai saat berhaji.
Sesuai rembuk keluarga, jenazah kaji Rum ternyata dimakamkan bersebelahan dengan Abah Madyani, ayahanda di Desa Kemlagi, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Pihak shohibul musibah (keluarga duka) masih terus mengabari ke sanak famili. Menggunakan mobil ambulans Forum Masyarakat Pondok Mutiara sebelum Ashar, sudah diantar ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Kabar luar biasa menyeruak ke permukaan. Saat kuburan digali, jenazah abah Madyani bin Arif, ternyata masih utuh termasuk kafannya. KH. Syafik Misbah, pengasuh Ponpes Al Hidayah, memahami sepak terjang dan kepedulian abah Madyani semasa hidup.
Termasuk kebutuhan operasional pondok dan sarana transportasi mobil, bila almaghfirullah KH. Ma’sum Ahmad Marzuki pengajian disokong abah Madyani.
“Inilah ketentuan Allah, bumi saja nggak mau dengan jasadnya. Ini pertanda dan hikmah bagi yang masih hidup, amal serta perbuatan kemaslahatan semasa hidup menjadi saksi dan penopang di alam barzah ila yaumil qiyamah, ” papar Gus Syafi panggilan akrabnya.
Ya, pergulatan hidup luar biasa, abah Madyani hingga anaknya kaji Rum, bagian dari catatan hidup dan hisab bagi manusia itu sendiri. Maha suci Allah dan Engkaulah sebaik-baik tempat untuk kembali. Semoga kita menjadi hambaNya yang Khusnul Khotimah. Aamiin
Selamat Jalan sahabat saya kaji Rum. Semoga jasadmu ikut menjadi saksi atas keluhuran amalmu. Ujian sakit yang begitu dahsyat menjadi penghapus dosamu. InshaAllah surga menjadi hunianmu. Aamiin ya rabbal alamiin. (*)